Berbagai tantangan yang dihadapi oleh guru muda itu mencerminkan belum efektifnya sistem pendidikan Indonesia dalam mendukung pembentukan identitas profesional guru. Padahal, tahun-tahun awal mengajar adalah masa emas bagi guru muda pgri-jateng untuk belajar, dan sedianya dipenuhi dengan pengalaman yang membangun image positif terhadap profesi itu sendiri. Standar profesional guru yang ada sekarang ini, sering dikenal dengan empat kompetensi guru, juga ternyata belum dapat menjadi panduan bagi berbagai pihak terkait untuk berorientasi pada kualitas guru yang efektif.
Berdasarkan temuan studi-studi , setidaknya ada tiga bentuk dukungan mendasar yang dapat membantu guru muda, khususnya di tingkat sekolah dasar, menjadi guru yang efektif. Ketiga dukungan ini vital karena akan menentukan proses pembentukan identitas profesional mereka sebagai guru.
1. Program penyiapan guru perlu berfokus pada peningkatan kompetensi pedagogis numerasi dan literasi agar lebih berdampak pada hasil belajar murid
Temuan studi yang menunjukkan bahwa pendidikan guru tidak berdampak terhadap hasil belajar numerasi dan literasi murid seharusnya menjadi bahan refleksi bagi LPTK penyelenggara pendidikan guru untuk melihat kembali kurikulum pendidikan guru dan kaitannya dengan kompetensi lulusan yang dihasilkan. Jika guru yang lulus dari program S-1 PGSD, apalagi yang telah tersertifikasi melalui PPG, saja tidak menunjukkan kinerja yang baik, kepada siapa lagi pendidikan anak-anak Indonesia harus dipercayakan.
Indikator yang digunakan untuk menjamin penguasaan kompetensi guru begitu mereka melewati rangkaian asesmen yang ditentukan dalam pendidikan guru, perlu pula untuk ditinjau kembali. Tentunya, guru yang kompeten, atau telah dianggap kompeten, selayaknya menghasilkan murid yang kompeten pula. Seperti yang sering digaungkan oleh banyak pihak, penguasaan kemampuan numerasi dan literasi anak Indonesia harus ditingkatkan demi mewujudkan sumber daya manusia berdaya saing di masa depan. Hal ini akan menjadi tidak realistis jika guru tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang baik untuk memfasilitasi proses belajar muridnya.
2. Kegiatan induksi yang memadai
Saat ini, induksi untuk guru baru belum memadai karena hanya menitikberatkan pada aspek administrasi dan kedisiplinan alih-alih pengajaran. Padahal, induksi sangat penting bagi guru muda untuk memahami iklim kerja di sekolah yang berbeda-beda. Ketiadaan induksi formal pada tahun-tahun awal bekerja membuat guru muda harus berjuang sendiri dalam mengatasi tantangan yang mereka hadapi. Oleh karena itu, mekanisme induksi untuk guru baru perlu dibenahi agar dapat lebih membantu guru muda memahami “medan tempurnya” selama tahun orientasi. Dalam hal ini, peran komunitas belajar guru juga dapat dimaksimalkan untuk berbagi pengalaman dalam melalui tahun-tahun awal mengajar.
Selain itu, level kompetensi guru sebaiknya dibedakan menjadi guru pemula, madya, dan berpengalaman agar kebijakan pengembangan profesionalisme guru dapat lebih koheren dan sesuai dengan kebutuhan guru pada masing-masing level kompetensinya. Saat ini, guru dalam jenjang karier berbeda dituntut memiliki kompetensi yang sama. Guru muda masih dalam tahap belajar untuk mengajar dan mendidik. Mereka sedianya diarahkan agar fokus mencapai kompetensi yang realistis sesuai dengan tahapan mereka berada, dan secara gradual mencapai tahapan selanjutnya dengan jalur yang jelas pula.
3. Lingkungan kerja yang “bersahabat”
Guru muda memiliki bayangan bahwa guru yang ideal adalah yang berkomitmen pada siswa dan terus mengembangkan diri. Namun, terkadang mereka berada dalam lingkungan kerja yang kurang “bersahabat”, seperti menghadapi budaya senioritas yang kuat hingga mendapat beban kerja yang berlebihan. Guru muda sering diberi tugas tambahan oleh guru senior maupun kepala sekolah—umumnya tidak berhubungan dengan pengajaran—seperti pelaporan tugas yang berbasis daring atau yang terkait teknologi, informasi, dan komunikasi. Tugas-tugas tambahan tersebut menyita banyak waktu guru muda sehingga mereka kesulitan mengembangkan diri dan kreativitas.
Untuk membantu guru muda memaksimalkan potensi mereka, perlu diciptakan iklim kerja yang bersahabat, beban kerja yang realistis, dan sumber daya manusia yang memadai. Misalnya, sekolah menyediakan tenaga kerja yang khusus mengerjakan tugas-tugas administrasi alih-alih melimpahkannya kepada guru muda.